Punya tubuh mungil atau pendek, seringkali kita jadi sorotan. Malah ada yang secara terang-terangan mengejek dan memandang sebelah mata. Tapi itu semua bukanlah hambatan untuk sukses, seperti kisah yang dialami salah satu sahabat Vemale ini untuk Lomba Menulis #MyBodyMyPride.
Ingat cerita Putri Salju dan tujuh manusia kerdil atau manusia hobbit di Lord Of The Rings? Cerita saya tidak se-legenditu sih. Namun sejak kecil, saya sadar fisik saya berbeda dengan teman-teman sebaya saya di sekolah. Ledekan, tertawaan, tatapan sinis dan merendahkan itu hal biasa di sekolah. Apalagi jelang remaja, hanya berat badan saja yang bertumbuh, tapi tinggi saya ya segitu-segitu saja. Pertumbuhan saya berbeda dari sebuah iklan susu yang menyebutkan, "Tumbuh itu ya ke atas, bukan ke samping."
Ledekan, tatapan aneh, heran, makin sering saya temui waktu jalan di mall. Memang sangat tidak nyaman. Apalagi kalau berpapasan dengan anak-anak yang biasanya sangat spontan. Mereka akan ngeledeksambil cekikikan dan nuding-nuding saya. Sungguh, saat itu saya berasa makhluk dari planet yang baru mendarat di bumi, sampai segitunya jadi bahan celaan. Gemesnya, orang tua mereka bukannya negur anaknya, malah ikutan nontonin saya. Fine.
Malu? Ya, iyalah. Sakit hati? Pastinya. Tapi mau bagaimana lagi? Menangis Semalamseperti lagunya Audy? Oh no!Sadar, secara fisik saya terbatas. Nggak lincah, sempurna seperti yang lain. Saya juga tidak cantik, fashionable, dan keren seperti perempuan kebanyakan. Saya harus rela menunggu ada yang membantu, ketika harus mengambil barang di tempat yang tinggi atau naik ke satu tempat yang tinggi. Hingga saya sadar, setiap manusia dianugerahi akal sehat dan talenta. Jika kita ingin mengubah nasib, selain tekun berdoa, berusaha dan bekerja keras.
Sadar, kuat-kuatan fisik saya tidak mampu. Keren-kerenan tampang, apalagi. Ketika teman-teman asyik main basket, berenang, jalan di catwalk dan performdi acara pensi, saya bisa asyik sendiri dengan menulis. Lewat ekskul jurnalistik di sekolah, jadi coba-coba nulis untuk media massa umum. Wawancara tokoh, selebriti, guru, siapa pun itu, saya lakukan sendiri.
Memang fisik saya tidak sempurna, tapi tulisan saya dibaca banyak orang. Memang fisik saya tidak sempurna, tapi saya akhirnya berani keluar dari tempurung saya, bertemu orang-orang yang tidak semua orang bisa temui dengan mudah. Saya kalahkan ketakutan, bakal ditertawakan atau disambut sinis. Meski pernah juga sih, ada narasumber yang tatapannya merendahkan. Mereka pikir saya main-main.
Memang fisik saya tidak sempurna, tapi kondisi ini bukan jadi alasan saya menolak pekerjaan atau minta perlakuan istimewa. Prinsip saya, mereka (yang sempurna) bisa, kenapa saya tidak? Sampai waktu liputan konser musik, saya harus akalin bagaimana bisa foto band di panggung sedangkan saya tenggelam dalam lautan manusia? Bagaimana saya bisa meliput sepakbola antar seleb, lapangannya luar biasa luasnya dibanding tubuh saya yang se”amit” ini?
Memang fisik saya tidak sempurna, tapi seiring waktu saya juga bisa mengkritisi sesuatu lewat opini yang saya tulis di media massa. Saya yang tingginya kini tidak lebih dari 123 cm ini, juga akhirnya bisa hijrah ke Jakarta dan memegang beberapa rubrik di media cetak selama sekian tahun. See?
Thanks GOD. Saya bisa kalahkan ketakutan saya sekarang. Kuncinya, kita berdoa, berusaha, dan bekerja keras. Ketika satu pintu tertutup, pasti ada pintu lain terbuka. Saya nggak cantik, seksi, dan sempurna, tapi hasil karya saya banyak yang baca dan nonton. Saya pendek dan tidak sempurna, tapi saya tidak minta-minta. Saya mencintai dan mensyukuri apa yang ada dalam diri saya sekarang. Buat dihargai orang lain, kita harus menghargai diri sendiri dulu. Buat dihargai orang lain, tunjukkan hasil karya. Bukan celotehan atau tangisan. Tekun dengan passion yang sudah kita miliki. Itu saja.
- Stenie
Sumber : https://www.vemale.com/inspiring/lentera/98445-tinggi-badanku-cuma-123-cm-tapi-itu-bukan-hambatanku-untuk-sukses.html
Ingat cerita Putri Salju dan tujuh manusia kerdil atau manusia hobbit di Lord Of The Rings? Cerita saya tidak se-legenditu sih. Namun sejak kecil, saya sadar fisik saya berbeda dengan teman-teman sebaya saya di sekolah. Ledekan, tertawaan, tatapan sinis dan merendahkan itu hal biasa di sekolah. Apalagi jelang remaja, hanya berat badan saja yang bertumbuh, tapi tinggi saya ya segitu-segitu saja. Pertumbuhan saya berbeda dari sebuah iklan susu yang menyebutkan, "Tumbuh itu ya ke atas, bukan ke samping."
Ledekan, tatapan aneh, heran, makin sering saya temui waktu jalan di mall. Memang sangat tidak nyaman. Apalagi kalau berpapasan dengan anak-anak yang biasanya sangat spontan. Mereka akan ngeledeksambil cekikikan dan nuding-nuding saya. Sungguh, saat itu saya berasa makhluk dari planet yang baru mendarat di bumi, sampai segitunya jadi bahan celaan. Gemesnya, orang tua mereka bukannya negur anaknya, malah ikutan nontonin saya. Fine.
Malu? Ya, iyalah. Sakit hati? Pastinya. Tapi mau bagaimana lagi? Menangis Semalamseperti lagunya Audy? Oh no!Sadar, secara fisik saya terbatas. Nggak lincah, sempurna seperti yang lain. Saya juga tidak cantik, fashionable, dan keren seperti perempuan kebanyakan. Saya harus rela menunggu ada yang membantu, ketika harus mengambil barang di tempat yang tinggi atau naik ke satu tempat yang tinggi. Hingga saya sadar, setiap manusia dianugerahi akal sehat dan talenta. Jika kita ingin mengubah nasib, selain tekun berdoa, berusaha dan bekerja keras.
Sadar, kuat-kuatan fisik saya tidak mampu. Keren-kerenan tampang, apalagi. Ketika teman-teman asyik main basket, berenang, jalan di catwalk dan performdi acara pensi, saya bisa asyik sendiri dengan menulis. Lewat ekskul jurnalistik di sekolah, jadi coba-coba nulis untuk media massa umum. Wawancara tokoh, selebriti, guru, siapa pun itu, saya lakukan sendiri.
Memang fisik saya tidak sempurna, tapi tulisan saya dibaca banyak orang. Memang fisik saya tidak sempurna, tapi saya akhirnya berani keluar dari tempurung saya, bertemu orang-orang yang tidak semua orang bisa temui dengan mudah. Saya kalahkan ketakutan, bakal ditertawakan atau disambut sinis. Meski pernah juga sih, ada narasumber yang tatapannya merendahkan. Mereka pikir saya main-main.
Memang fisik saya tidak sempurna, tapi kondisi ini bukan jadi alasan saya menolak pekerjaan atau minta perlakuan istimewa. Prinsip saya, mereka (yang sempurna) bisa, kenapa saya tidak? Sampai waktu liputan konser musik, saya harus akalin bagaimana bisa foto band di panggung sedangkan saya tenggelam dalam lautan manusia? Bagaimana saya bisa meliput sepakbola antar seleb, lapangannya luar biasa luasnya dibanding tubuh saya yang se”amit” ini?
Memang fisik saya tidak sempurna, tapi seiring waktu saya juga bisa mengkritisi sesuatu lewat opini yang saya tulis di media massa. Saya yang tingginya kini tidak lebih dari 123 cm ini, juga akhirnya bisa hijrah ke Jakarta dan memegang beberapa rubrik di media cetak selama sekian tahun. See?
Thanks GOD. Saya bisa kalahkan ketakutan saya sekarang. Kuncinya, kita berdoa, berusaha, dan bekerja keras. Ketika satu pintu tertutup, pasti ada pintu lain terbuka. Saya nggak cantik, seksi, dan sempurna, tapi hasil karya saya banyak yang baca dan nonton. Saya pendek dan tidak sempurna, tapi saya tidak minta-minta. Saya mencintai dan mensyukuri apa yang ada dalam diri saya sekarang. Buat dihargai orang lain, kita harus menghargai diri sendiri dulu. Buat dihargai orang lain, tunjukkan hasil karya. Bukan celotehan atau tangisan. Tekun dengan passion yang sudah kita miliki. Itu saja.
- Stenie
Sumber : https://www.vemale.com/inspiring/lentera/98445-tinggi-badanku-cuma-123-cm-tapi-itu-bukan-hambatanku-untuk-sukses.html