Selasa, 16 Mei 2017

Kesetaraan Dalam Islam

Kisah Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu begitu melegenda. 15 abad lalu, seorang Afrika, berkulit hitam, dan nasab non Arab diangkat derajatnya oleh Islam. Ia menjadi sahabat dekat manusia terbaik yang pernah ada, Rasulullah ﷺ. Ia pula menjadi muadzinnya kaum muslimin. Islam mengenalkan pada dunia arti sebuah kesetaraan.


Kali ini kita tidak akan berbicara tentang Bilal, karena telah kita bicarakan di tulisan tentang Bilal bin Rabah di website ini. Kita akan berbiacara tentang Qutaibah bin Muslim al-Bahili rahimahullah. Seorang pahlawan besar. Menaklukkan negeri-negeri seberang sungai di Asia Selatan, hingga Islam dari Arab mencapai daratan Cina. Ia diangkat Khalifah Abdul Malik bin Marwan rahimahullah menjadi amir daerah Ray dan Khurasan. Kemudian menguasai Thakharistan (wilayah Pakistan dan Afganistan). Lalu menguasai Bukhara di Uzbekistan. Berikutnya Sijistan, Khawarizm, dan Samarkand di jantung Asia. Hingga sampai menguasai Kota Kashgar di Cina.

Lihatlah capaiannya, ia memegang wilayah yang hari ini dipimpin oleh beberapa orang kepala negara. Tahukah Anda? Pemimpin besar ini berasal dari kabilah kelas bawah. Kabilah Bahilah.

Kedudukan Kabilah Bahilah

Kabilah Bahilah adalah kabilah rendahan dalam strata sosial masyarakat Arab. Tidak diperhitungkan dan tidak ada orang yang mau jadi bagiannya. Cukup sebuah syair, dan Anda akan tahu betapa rendah kedudukan kabilah ini. Seorang penyair mengatakan,

ولو قيل للكلب يا باهلي عوى الكلب من لوم هذا النسب

Jika ada seekor anjing dipanggil dengan ‘hai Bahili’
Dia akan menyalak, mencela nasab ini

Bayangkan! Anjing saja marah, tidak mau disebut Bahili (orang Bahilah).

Qutaibah pernah bertanya kepada Buhairah, “Apa kiranya kalau kerabatmu adalah dari Salul, jika kuganti nasabmu jadi mereka?”

Mungkin Salul yang dimaksud Qutaibah adalah kabilah yang terdapat seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul yang sangat membenci dan memusuhi Rasulullah ﷺ.

Ia menjawab, “Wahai Amir, gantilah dengan apapun yang engkau mau. Tapi jauhkan aku dari Bahilah.”

Diriwayatkan juga, Qutaibah pernah berbicara dengan Arab Badui. Ia berkata, “Maukah engkau menjadi seorang Bahili dan akan kuberikan setengah dari kekuasaan?” “Tidak mau,” jawab si Badui tanpa berpikir panjang.

“Bagaimana kalau kuberikan seluruh kekuasaan?” tanya Qutaibah menaikkan tawaran. “Tidak,” jawabnya mantab.

Qutaibah bertanya lagi, “Maukah, sekiranya menjadi seorang Bahili engkau masuk ke dalam surga?” Si Badui terdiam sesaat dan berpikir. Kemudian ia berkata, “Dengan satu syarat wahai Amir.” “Apa itu?” tanya Qutaibah. “Para penduduk surga tidak boleh tahu kalau aku adalah seorang Bahili,” jawab si Badui.

Bayangkan! Hingga demikian kedudukan bani Bahilah bagi orang-orang Arab. Seorang Arab dusun pun tak mau jadi bagian dari mereka walaupun dengan iming-iming luar biasa. Iming-iming kekuasaan besar miliki Qutaibah bin Muslim al-Bahili rahimahullah.

Qutaibah memang tidak dapat merubah nasabnya, tapi ia –atas izin Allah- merubah nasibnya (kedudukannya). Ia memiliki keistimewaan tekad, keberanian, dan ketegasan. Ia berwibawa dan ditakuti musuh. Dan di antara cucunya adalah al-Amir Said bin Muslim bin Qutaibah yang menjadi pemimpin wilayah Armenia, Mosul, Sind, dan Sijistan. Seorang penunggang kuda ulung, dermawan, dan memiliki kedudukan.

Pelajaran:

Pertama: Islam menegaskan kesetaraan antar sesama manusia. Yang membedakannya hanya takwa. Bukan suku atau warna kulit.

Kedua: Dengan kekuatan tekad dan karakter yang kuat, seseorang akan mencapai kesuksesan.

Ketiga: fanatik kesukuan atau kedaerahan adalah sesuatu yang sulit hilang dari umat Nabi Muhammad ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda, “Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Muslim no. 934).

Beliau sebutkan “umatku” artinya Arab dan non Arab. Di Indonesia sendiri kita lihat masih ada orang yang menyebut-nyebut “dasar orang Sumatera, dasar orang Jawa, orang Madura, dll.” kalimat-kalimat yang mencela nasab atau kedaerahan. Ada pula yang tidak mau menikah dengan suku tertentu. Atau hanya menikah dengan suku yang sama saja.

Keempat: Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah seorang yang bijak. Khalifah yang dikenal sebagai ahli fikih Madinah sebelum menjabat khalifah ini, lebih mengedepankan kemampuan daripada strata sosial dalam hal jabatan.

Kelima: Jangan jadi seperti Arab badui, yang menilai prestise dari hal-hal yang zahir saja.

Keenam: Sebagai perbandingan betapa Islam begitu cepat merubah keadaan suatu kaum, dalam hal ini Arab. Dari memuja nasab kemudian menjadi bangsa beradab dan menghargai kesetaraan. Kita jadikan Amerika sebagai perbandingan. Amerika merdeka tahun 1776, dan orang kulit hitam (nasab rendahan menurut Amerika) baru bisa memimpin tahun 2009, artinya butuh 200 tahun lebih bagi demokrasi untuk mengedukasi masyarakat Amerika dalam memahami hal ini.


Sumber : http://kisahmuslim.com/5407-kesetaraan-dalam-islam.html