Ada benarnya orang yang menyatakan bahwa hati itu ibarat gerbang benteng yang hanya dibuka dari arah dalam. Tidak ada yang bisa membuka gerbang hati, baik dengan argumen atau emosi. Hanya Sang Pemilik Hatilah –Allah ﷻ- yang punya kuasa atas hati. Artinya, membuka hati seseorang untuk menerima pendapat kita itu sulit. Lebih sulit lagi jika caranya tak tepat.
Abdurrahman al-Nashir atau juga yang dikenal dengan Abdurrahman III adalah seorang khalifah masyhur zaman Daulah Bani Umayyah II yang menguasai Andalusia. Naik tahta di usia 22 tahun, Abdurrahman al-Nashir berhasil berkuasa selama 50 tahun. Sejak tahun 300-350 H (913-963 M). Ia seorang yang shaleh.
Pernah saat kemarau panjang melanda Andalusia, Abdurrahman III berdoa dengan khusyuk, berpakaian lusuh, dan debu mengotori kepala dan sekitar jenggotnya. Ia menangis mengakui dosa-dosanya sambil bermunajat, “Ya Allah, apakah Engkau akan terus menyiksa rakyatku karena dosa-dosaku? Engkau adalah sebaik-baik pemberi keputusan. Tak satu pun dosaku yang terlewatkan dari-Mu.” Sepulangnya masyarakat dari shalat istisqa yang dipimpin oleh Qadhi Mundzir bin Said, hujan pun turun dengan derasnya.
Di sisi lain, Abdurrahman III juga gemar dengan arsitektur dan kemegahan bangunan. Proyek terbesarnya adalah membangun Madinah al-Zahra (325 H/937 M). Selama 40 tahun ia disibukkan dengan istana megah ini.
Membanggakan Madinah al-Zahra
Suatu hari, Abdurrahman al-Nashir berbincang santai bersama para pejabatnya. Ia menanyai mereka semua, “Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa raja sebelumku telah melakukan seperti yang telah aku lakukan dan membangun seperti yang aku bangun?”
Mereka menjawab, “Tidak pernah. Demi Allah, engkau satu-satunya di bidang ini. Tidak ada yang menandingimu. Tidak seorang raja pun pernah meraih seperti pencapaianmu.”
Salah seorang ulama yang bernama al-Mundzir bin Said masuk ke ruangan. Ia bersedih dan menangis melihat keadaan rajanya. Kemudian menasihatinya hingga membawakan ayat:
“Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya.” (QS:Az-Zukhruf | Ayat: 33).
Al-Nashir langsung terdiam. Kepalanya tertunduk. Ia menangis, lalu menoleh ke arah sang qadhi dan berkata, “Semoga Allah membalas seluruh kebaikanmu terhadap kami, dirimu sendiri, dan kaum muslimin. Semoga Allah menambah banyak orang-orang sepertimu. Bernar apa yang kau katakana tadi.” Setelah itu, al-Nashir memerintahkan agar emas dan perak yang di atap Istana al-Zahra dihilangkan dan dikembalikan lagi seperti sediakala. Ia memohon ampunan kepada Allah dan menyesali semua tindakannya. Tapi, itulah dunia:
Dialah dunia, berkata dengan sepenuh mulutnya
Hati-hatilah… Hati-hatilah dari serangan dan sergapanku
Janganlah kalian terperdaya dengan senyumku
Karena ucapanku menggelikan dan perbuatanku membuat tangis
Menyindir Khalifah Dalam Khutbah
Saking seriusnya memperhatikan pembangunan Istana al-Zahra, al-Nashir sampai terlambat menghadiri shalat Jumat sebanyak tiga kali berturut-turut. Ini membuat al-Mundzir berniat mengingatkan al-Nashir lewat khutbah yang berisi nasihat santun dan bijak. Setelah memuji Allah ﷻ dan bershalawat kepada Rasulullah ﷺ, al-Mundzir mengawali khotbahnya dengan firman Allah ﷻ,
“Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak, dan kebun-kebun dan mata air, sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar”. Mereka menjawab: “Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi nasehat atau tidak memberi nasehat.” (QS:Asy-Syu’araa | Ayat: 128).
Al-Mundzir menyambung ayat tadi dengan ayat, “Perhiasan dunia itu hanya sedikit, sementara akhirat itu lebih banyak bagi orang yang bertakwa”. Ia juga mencela praktik membangun bangunan secara berlebihan dengan kata-kata yang tegas dan pedas, lalu membaca ayat, “Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS:At-Taubah | Ayat: 109).
Al-Mundzir terus memberi peringatan dengan membawa ayat-ayat Alquran. Semua yang hadir pun menundukkan kepala, termasuk al-Nashir. Al-Nashir tahu bahwa perkataan al-Mundzir ditujukan pada dirinya. Al-Nashir menangis, menyesali tindakan berlebih-lebihannya dalam membangun istana. Hanya saja, hatinya belum bisa menerima dengan lapang semua kritik pedas dan nasihat tersebut. Ia mengeluh kepada anaknya, al-Hakam, “Demi Allah, khutbah al-Mundzir ditujukan kepadaku. Ya, itu pasti untukku. Tetapi ia terlalu berlebihan menyinggunggku dan mengkritikku, juga tidak santun menasihatiku. Hatiku gelisah dan mengeras karenanya.”
Al-Nashir lalu bersumpah tidak akan lagi shalat Jumat di belakang al-Mundzir. Ia lebih memilih shalat Jumat dengan diimami oleh Ahmad bin Mutharrif, khatib Masjid Agung Kordoba. Tapi al-Nashir tidak mencopot al-Mundzir sebagai imam masjid. Ia mengakui banyak kebenaran yang keluar dari lisan al-Mundzir.
Pelajaran
Seseorang tidak suka dinasihati di depan khalayak. Terlebih lagi seorang penguasa.
Nasihat santun dengan membawakan ayat, namun disampaikan di depan umum –mimbar, sosial media, dll.- malah memunculkan ego penguasa atau individu masyarakat untuk menolak kebenaran.
Dalam banyak hal sindiran terhadap person tertentu tidak bermanfaat untuk memperbaiki hubungan, malah menjadikanya kian rusak dan renggang. Perbaikilah dengan nasihat bukan dengan sindiran.
Sumber : http://kisahmuslim.com/5366-bersama-ayat-sindiran-tak-juga-bermanfaat.html
Abdurrahman al-Nashir atau juga yang dikenal dengan Abdurrahman III adalah seorang khalifah masyhur zaman Daulah Bani Umayyah II yang menguasai Andalusia. Naik tahta di usia 22 tahun, Abdurrahman al-Nashir berhasil berkuasa selama 50 tahun. Sejak tahun 300-350 H (913-963 M). Ia seorang yang shaleh.
Pernah saat kemarau panjang melanda Andalusia, Abdurrahman III berdoa dengan khusyuk, berpakaian lusuh, dan debu mengotori kepala dan sekitar jenggotnya. Ia menangis mengakui dosa-dosanya sambil bermunajat, “Ya Allah, apakah Engkau akan terus menyiksa rakyatku karena dosa-dosaku? Engkau adalah sebaik-baik pemberi keputusan. Tak satu pun dosaku yang terlewatkan dari-Mu.” Sepulangnya masyarakat dari shalat istisqa yang dipimpin oleh Qadhi Mundzir bin Said, hujan pun turun dengan derasnya.
Di sisi lain, Abdurrahman III juga gemar dengan arsitektur dan kemegahan bangunan. Proyek terbesarnya adalah membangun Madinah al-Zahra (325 H/937 M). Selama 40 tahun ia disibukkan dengan istana megah ini.
Membanggakan Madinah al-Zahra
Suatu hari, Abdurrahman al-Nashir berbincang santai bersama para pejabatnya. Ia menanyai mereka semua, “Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa raja sebelumku telah melakukan seperti yang telah aku lakukan dan membangun seperti yang aku bangun?”
Mereka menjawab, “Tidak pernah. Demi Allah, engkau satu-satunya di bidang ini. Tidak ada yang menandingimu. Tidak seorang raja pun pernah meraih seperti pencapaianmu.”
Salah seorang ulama yang bernama al-Mundzir bin Said masuk ke ruangan. Ia bersedih dan menangis melihat keadaan rajanya. Kemudian menasihatinya hingga membawakan ayat:
“Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya.” (QS:Az-Zukhruf | Ayat: 33).
Al-Nashir langsung terdiam. Kepalanya tertunduk. Ia menangis, lalu menoleh ke arah sang qadhi dan berkata, “Semoga Allah membalas seluruh kebaikanmu terhadap kami, dirimu sendiri, dan kaum muslimin. Semoga Allah menambah banyak orang-orang sepertimu. Bernar apa yang kau katakana tadi.” Setelah itu, al-Nashir memerintahkan agar emas dan perak yang di atap Istana al-Zahra dihilangkan dan dikembalikan lagi seperti sediakala. Ia memohon ampunan kepada Allah dan menyesali semua tindakannya. Tapi, itulah dunia:
Dialah dunia, berkata dengan sepenuh mulutnya
Hati-hatilah… Hati-hatilah dari serangan dan sergapanku
Janganlah kalian terperdaya dengan senyumku
Karena ucapanku menggelikan dan perbuatanku membuat tangis
Menyindir Khalifah Dalam Khutbah
Saking seriusnya memperhatikan pembangunan Istana al-Zahra, al-Nashir sampai terlambat menghadiri shalat Jumat sebanyak tiga kali berturut-turut. Ini membuat al-Mundzir berniat mengingatkan al-Nashir lewat khutbah yang berisi nasihat santun dan bijak. Setelah memuji Allah ﷻ dan bershalawat kepada Rasulullah ﷺ, al-Mundzir mengawali khotbahnya dengan firman Allah ﷻ,
“Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak, dan kebun-kebun dan mata air, sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar”. Mereka menjawab: “Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi nasehat atau tidak memberi nasehat.” (QS:Asy-Syu’araa | Ayat: 128).
Al-Mundzir menyambung ayat tadi dengan ayat, “Perhiasan dunia itu hanya sedikit, sementara akhirat itu lebih banyak bagi orang yang bertakwa”. Ia juga mencela praktik membangun bangunan secara berlebihan dengan kata-kata yang tegas dan pedas, lalu membaca ayat, “Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS:At-Taubah | Ayat: 109).
Al-Mundzir terus memberi peringatan dengan membawa ayat-ayat Alquran. Semua yang hadir pun menundukkan kepala, termasuk al-Nashir. Al-Nashir tahu bahwa perkataan al-Mundzir ditujukan pada dirinya. Al-Nashir menangis, menyesali tindakan berlebih-lebihannya dalam membangun istana. Hanya saja, hatinya belum bisa menerima dengan lapang semua kritik pedas dan nasihat tersebut. Ia mengeluh kepada anaknya, al-Hakam, “Demi Allah, khutbah al-Mundzir ditujukan kepadaku. Ya, itu pasti untukku. Tetapi ia terlalu berlebihan menyinggunggku dan mengkritikku, juga tidak santun menasihatiku. Hatiku gelisah dan mengeras karenanya.”
Al-Nashir lalu bersumpah tidak akan lagi shalat Jumat di belakang al-Mundzir. Ia lebih memilih shalat Jumat dengan diimami oleh Ahmad bin Mutharrif, khatib Masjid Agung Kordoba. Tapi al-Nashir tidak mencopot al-Mundzir sebagai imam masjid. Ia mengakui banyak kebenaran yang keluar dari lisan al-Mundzir.
Pelajaran
Seseorang tidak suka dinasihati di depan khalayak. Terlebih lagi seorang penguasa.
Nasihat santun dengan membawakan ayat, namun disampaikan di depan umum –mimbar, sosial media, dll.- malah memunculkan ego penguasa atau individu masyarakat untuk menolak kebenaran.
Dalam banyak hal sindiran terhadap person tertentu tidak bermanfaat untuk memperbaiki hubungan, malah menjadikanya kian rusak dan renggang. Perbaikilah dengan nasihat bukan dengan sindiran.
Sumber : http://kisahmuslim.com/5366-bersama-ayat-sindiran-tak-juga-bermanfaat.html