Apa yang akan Anda baca bukanlah cerita karangan atau kisah khayal. Ini adalah pengalaman pribadi seorang da’i Arab Saudi, Syaikh Umar bin Muqbil hafizhahullah, yang berkisah tentang orang tua ahli ibadah. Orang tua yang begitu cinta dengan Alquran. Orang tua yang tidak hendak berharap dunia dengan anugerah penglihatannya, ia hanya berharap bisa memanfaatkan kedua matanya untuk memandangi kalam Rabbnya. Ia adalah Bapak Shaleh Abid. Kira-kira 10 tahun Syaikh Umar Muqbil dan Pak Shaleh sering bersama dan menjalin hubungan dekat.
Syaikh Umar mengisahkan, “Aku dekat dengan Pak Shaleh kurang lebih selama 10 tahun. Sejak aku bertugas menjadi khatib di Markaz Raudhah al-Hasu, di wilayah Qashim, Arab Saudi. Pak Shaleh adalah seorang yang dihormati di tengah keluarganya. Ia juga merupakan seorang figur dalam masalah agama bagi mereka. Sekarang, sudah 5 tahun beliau wafat. Meninggalkan kami semua”, ungkap Syaikh Umar membuka kisahnya.
“Menurutku, sangat jarang orang sepertinya. Di kalangan keluarganya pun ia teramat istimewa. Sangat pantas menjadi teladan. Sosoknya mengingatkanku kepada generasi terdahulu umat ini”.
Ia melanjutkan, “Pak Shaleh termasuk orang yang paling banyak membaca Alquran yang pernah aku lihat. Walaupun ia bukan seorang yang dikenal mengkhususkan diri dengan ilmu agama. Namun amalannya mendekati kebiasaan para ulama”,
“Ia terbiasa mengkhatamkan 30 juz Alquran hanya dalam tiga hari. Suaranya lantang dan menggema ketika membaca kalam Ilahi itu. Mungkin, orang-orang yang berada di halaman masjid pun dapat mendengar lantunan tilawahnya. Itulah kebiasaannya. Mengangkat suara ketika bertilawah”,
“Aku senang sekali duduk-duduk bersamanya. Berdekatan dengannya adalah momen luar biasa bagi para juru dakwah dan juga bagi pelajar ilmu agama”. Menurut Syaikh Umar, Pak Shaleh sangat menghargai orang yang duduk bersamanya. Ia terlihat begitu bahagia melayani lawan bicara. Sehingga kebahagiaannya merambat ke sekelilingnya, membuat orang lain turut berbahagia. Menularkan energi positif yang menghilangkan duka dan gelayut pikiran tidak nyaman karena beban kehidupan. Syaikh Umar mengatakan, “Kebahagiaan yang ia pancarkan tatkala duduk-duduk bersama bagaikan perasaan seorang pengantin. Kesan itulah yang kutangkap tiap kali kulihat dia. Keceriaan begitu memancar dari wajahnya”.
“Ia mudah tersentuh dan meneteskan air mata. Jika Anda bercerita kepadanya tentang kisah-kisah orang-orang shaleh, maka ia dengan mudah menangis (mengingat mereka). Atau bisa pula Anda ceritakan tentang kenikmatan surga. Atau adzab neraka. Atau ceritakan saja padanya tentang sirah Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya”.
Di akhir hayatnya, ia mendapatkan beberapa cobaan:
Pertama: istrinya wafat sebelum mencapai usia 40 tahun.
Kedua: penyakit silih berganti dideritanya sejak 5 tahun sebelum wafat. Sampai-sampai menyebabkan sedikit tidur.
Ketiga: di antara cobaan yang paling berat yang ia rasakan adalah fungsi indera penglihatannya yang melemah. Sampai-sampai ia butuh seseorang yang menuntunnya. Hal itu pula yang menghalanginya untuk membaca Alquran dari mush-hafnya.
Aku datang menjenguknya. Membesuknya tatkala suatu cairan di mata menghalangi pandangannya. Ia menangis hingga aku pun menangis. Aku bertanya, “Bagaimana keadaanmu wahai Abu Abdillah?”
Ia menjawab, “Cairan ini menutupi pandanganku hingga aku tidak mampu membaca Alquran”, demikianlah ia ungkapkan kesedihannya kepadaku dengan bahasa ‘amiyah.
Kemudian ia melanjutkan, “Demi Allah wahai Abu Abdillah (kun-yah yang sama), aku tidak menginginkan dunia dengan penglihatanku. Aku hanya ingin membaca Alquran yang membuat dadaku menjadi lapang. Kalau penglihatanku sudah hilang, apalagi yang aku inginkan dari dunia ini”, ungkapnya dengan air mata berlinangan membasahi janggutnya.
Kukatakan padanya, “Pak Shaleh, bergembiralah.. Sungguh Nabi ﷺ pernah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu,
إذا مرض العبدُ أو سافر كُتب له ما كان يعمل صحيحا مقيماً
“Apabila seorang hamba sakit atau bersafar, dicatatkan untuknya apa yang biasa ia lakukan tatkala sehat dan muqim.” (HR. al-Bukhari No. 2996).
Berbahagialah.. karena pahala bacaan Alquran-mu tetap mengalir bi-idznillah walaupun engkau sekarang tidak mampu membacanya karena cairan yang ada di matamu menghalangimu darinya. Percayalah akan janji Rasulullah ﷺ.
Dengan suara bergetar ia memotong ucapanku. Dengan suara yang tulus bercampur air mata ia berkata, “Tapi, aku hanya hafal beberapa juz saja. Dulu aku pernah menyetorkan hafalanku kepada Syaikh Ibnu Salimullah yarhamuhu. Aku sangat ingin menyempurnakannya. Dan aku tidak tau kapan kiranya aku wafat”.
Aku menjawab, “Berdoalah kepada Allah, semoga Allah menghilangkan cairan yang ada di matamu. Bergembiralah…”
“Jujur, saat itu aku mengatakan perkataan ini dengan ringan begitu saja”, kata Syaikh Umar. Ia mengucapkan nasihat itu hanya sebagai kalimat penghibur, meringankan bebannya dan melapangkan dadanya. “Bukan berarti aku meragukan kehebatan takdir Allah. Hanya saja lemahnya iman dan keyakinanku kala itu. Karena, jarang sekali orang yang buta bisa melihat kembali”, sambungnya.
“Aku pun mohon izin darinya. Dari lelaki tua yang tengah membasahi lisannya dengan ucapan istirja’ inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… la haula wala quwwata illa billah…”
Kemudian waktu pun berlalu. Aku tidak tahu pasti, satu bulan ataukah lebih. Kutemui ia sebagaimana kebiasaanku setelah menyampaikan khotbah Jumat. Kulihat wajahnya berseri bahagia. Kalimat-kalimatnya terburai, bertaut-taut saling susul-susul menyusul, keluar dari mulutnya. Ia hendak berbagi kegembiraan denganku. “Aku beri tahu kabar gembira padamu wahai Abu Abdillah… akan kuberi tahu kabar gembira untukmu wahai Abu Abdillah… cairan yang ada di mataku telah hilang. Allah telah mengabulkan doaku”, ia mengucapkan kabar tersebut seakan seluruh gudang harta dunia menjadi miliknya.
Sekelabat lintasan-lintasan pikiran melayang di benakku. Aku tidak bisa mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku berpikir tentang hebatnya keyakinan muwahhid (orang yang yakin kepada Allah) ini. Aku takjub tentang bagaimana Allah mengabulkan doanya. Sebagaimana ia mengabulkan doa istri Ibrahim al-Kholil ‘alaihissalam. Kemudian menangisi betapa lemah iman dan keyakinanku.
Aku dipertemukan dengan seorang muwahhid, dengan kejadian hebat seperti ini. Sebuah pelajaran, pelajaran yang tidak aku dapatkan dari sebagian ulama; baik di buku-buku mereka ataupun kujumpai dalam amalan mereka semoga Allah merahmati mereka semua. Di tengah kebisuan dan lintasan pikiran itu, tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali hanya ikut larut dalam kebahagiannya. Karena aku mencintainya. Cinta seorang anak kepada ayahnya.
Setelah itu, kulihat ia isi akhir hayatnya dengan penghambaan dan kesungguhan dalam ketaatan kepada Allah hingga maut menjemputnya.
Semoga Allah merahmati ahli ibadah ini, Abu Abdillah Abdurrahman bin Jam’an bin Dhawi asy-Syatili al-Mithri. Semoga Allah dengan rahmat dan kasih sayangnya mengumpulkannya bersama kita semua dalam Surga Firdaus, surga tertinggi. Dan semoga Allah merahmati mereka hamba-hamba Allah yang mengucapkan amin…
Sumber : http://kisahmuslim.com/5204-bagiku-membaca-alquran-adalah-kenikmatan-terbaik-yang-ada-di-dunia-ini.html
Syaikh Umar mengisahkan, “Aku dekat dengan Pak Shaleh kurang lebih selama 10 tahun. Sejak aku bertugas menjadi khatib di Markaz Raudhah al-Hasu, di wilayah Qashim, Arab Saudi. Pak Shaleh adalah seorang yang dihormati di tengah keluarganya. Ia juga merupakan seorang figur dalam masalah agama bagi mereka. Sekarang, sudah 5 tahun beliau wafat. Meninggalkan kami semua”, ungkap Syaikh Umar membuka kisahnya.
“Menurutku, sangat jarang orang sepertinya. Di kalangan keluarganya pun ia teramat istimewa. Sangat pantas menjadi teladan. Sosoknya mengingatkanku kepada generasi terdahulu umat ini”.
Ia melanjutkan, “Pak Shaleh termasuk orang yang paling banyak membaca Alquran yang pernah aku lihat. Walaupun ia bukan seorang yang dikenal mengkhususkan diri dengan ilmu agama. Namun amalannya mendekati kebiasaan para ulama”,
“Ia terbiasa mengkhatamkan 30 juz Alquran hanya dalam tiga hari. Suaranya lantang dan menggema ketika membaca kalam Ilahi itu. Mungkin, orang-orang yang berada di halaman masjid pun dapat mendengar lantunan tilawahnya. Itulah kebiasaannya. Mengangkat suara ketika bertilawah”,
“Aku senang sekali duduk-duduk bersamanya. Berdekatan dengannya adalah momen luar biasa bagi para juru dakwah dan juga bagi pelajar ilmu agama”. Menurut Syaikh Umar, Pak Shaleh sangat menghargai orang yang duduk bersamanya. Ia terlihat begitu bahagia melayani lawan bicara. Sehingga kebahagiaannya merambat ke sekelilingnya, membuat orang lain turut berbahagia. Menularkan energi positif yang menghilangkan duka dan gelayut pikiran tidak nyaman karena beban kehidupan. Syaikh Umar mengatakan, “Kebahagiaan yang ia pancarkan tatkala duduk-duduk bersama bagaikan perasaan seorang pengantin. Kesan itulah yang kutangkap tiap kali kulihat dia. Keceriaan begitu memancar dari wajahnya”.
“Ia mudah tersentuh dan meneteskan air mata. Jika Anda bercerita kepadanya tentang kisah-kisah orang-orang shaleh, maka ia dengan mudah menangis (mengingat mereka). Atau bisa pula Anda ceritakan tentang kenikmatan surga. Atau adzab neraka. Atau ceritakan saja padanya tentang sirah Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya”.
Di akhir hayatnya, ia mendapatkan beberapa cobaan:
Pertama: istrinya wafat sebelum mencapai usia 40 tahun.
Kedua: penyakit silih berganti dideritanya sejak 5 tahun sebelum wafat. Sampai-sampai menyebabkan sedikit tidur.
Ketiga: di antara cobaan yang paling berat yang ia rasakan adalah fungsi indera penglihatannya yang melemah. Sampai-sampai ia butuh seseorang yang menuntunnya. Hal itu pula yang menghalanginya untuk membaca Alquran dari mush-hafnya.
Aku datang menjenguknya. Membesuknya tatkala suatu cairan di mata menghalangi pandangannya. Ia menangis hingga aku pun menangis. Aku bertanya, “Bagaimana keadaanmu wahai Abu Abdillah?”
Ia menjawab, “Cairan ini menutupi pandanganku hingga aku tidak mampu membaca Alquran”, demikianlah ia ungkapkan kesedihannya kepadaku dengan bahasa ‘amiyah.
Kemudian ia melanjutkan, “Demi Allah wahai Abu Abdillah (kun-yah yang sama), aku tidak menginginkan dunia dengan penglihatanku. Aku hanya ingin membaca Alquran yang membuat dadaku menjadi lapang. Kalau penglihatanku sudah hilang, apalagi yang aku inginkan dari dunia ini”, ungkapnya dengan air mata berlinangan membasahi janggutnya.
Kukatakan padanya, “Pak Shaleh, bergembiralah.. Sungguh Nabi ﷺ pernah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu,
إذا مرض العبدُ أو سافر كُتب له ما كان يعمل صحيحا مقيماً
“Apabila seorang hamba sakit atau bersafar, dicatatkan untuknya apa yang biasa ia lakukan tatkala sehat dan muqim.” (HR. al-Bukhari No. 2996).
Berbahagialah.. karena pahala bacaan Alquran-mu tetap mengalir bi-idznillah walaupun engkau sekarang tidak mampu membacanya karena cairan yang ada di matamu menghalangimu darinya. Percayalah akan janji Rasulullah ﷺ.
Dengan suara bergetar ia memotong ucapanku. Dengan suara yang tulus bercampur air mata ia berkata, “Tapi, aku hanya hafal beberapa juz saja. Dulu aku pernah menyetorkan hafalanku kepada Syaikh Ibnu Salimullah yarhamuhu. Aku sangat ingin menyempurnakannya. Dan aku tidak tau kapan kiranya aku wafat”.
Aku menjawab, “Berdoalah kepada Allah, semoga Allah menghilangkan cairan yang ada di matamu. Bergembiralah…”
“Jujur, saat itu aku mengatakan perkataan ini dengan ringan begitu saja”, kata Syaikh Umar. Ia mengucapkan nasihat itu hanya sebagai kalimat penghibur, meringankan bebannya dan melapangkan dadanya. “Bukan berarti aku meragukan kehebatan takdir Allah. Hanya saja lemahnya iman dan keyakinanku kala itu. Karena, jarang sekali orang yang buta bisa melihat kembali”, sambungnya.
“Aku pun mohon izin darinya. Dari lelaki tua yang tengah membasahi lisannya dengan ucapan istirja’ inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… la haula wala quwwata illa billah…”
Kemudian waktu pun berlalu. Aku tidak tahu pasti, satu bulan ataukah lebih. Kutemui ia sebagaimana kebiasaanku setelah menyampaikan khotbah Jumat. Kulihat wajahnya berseri bahagia. Kalimat-kalimatnya terburai, bertaut-taut saling susul-susul menyusul, keluar dari mulutnya. Ia hendak berbagi kegembiraan denganku. “Aku beri tahu kabar gembira padamu wahai Abu Abdillah… akan kuberi tahu kabar gembira untukmu wahai Abu Abdillah… cairan yang ada di mataku telah hilang. Allah telah mengabulkan doaku”, ia mengucapkan kabar tersebut seakan seluruh gudang harta dunia menjadi miliknya.
Sekelabat lintasan-lintasan pikiran melayang di benakku. Aku tidak bisa mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku berpikir tentang hebatnya keyakinan muwahhid (orang yang yakin kepada Allah) ini. Aku takjub tentang bagaimana Allah mengabulkan doanya. Sebagaimana ia mengabulkan doa istri Ibrahim al-Kholil ‘alaihissalam. Kemudian menangisi betapa lemah iman dan keyakinanku.
Aku dipertemukan dengan seorang muwahhid, dengan kejadian hebat seperti ini. Sebuah pelajaran, pelajaran yang tidak aku dapatkan dari sebagian ulama; baik di buku-buku mereka ataupun kujumpai dalam amalan mereka semoga Allah merahmati mereka semua. Di tengah kebisuan dan lintasan pikiran itu, tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali hanya ikut larut dalam kebahagiannya. Karena aku mencintainya. Cinta seorang anak kepada ayahnya.
Setelah itu, kulihat ia isi akhir hayatnya dengan penghambaan dan kesungguhan dalam ketaatan kepada Allah hingga maut menjemputnya.
Semoga Allah merahmati ahli ibadah ini, Abu Abdillah Abdurrahman bin Jam’an bin Dhawi asy-Syatili al-Mithri. Semoga Allah dengan rahmat dan kasih sayangnya mengumpulkannya bersama kita semua dalam Surga Firdaus, surga tertinggi. Dan semoga Allah merahmati mereka hamba-hamba Allah yang mengucapkan amin…
Sumber : http://kisahmuslim.com/5204-bagiku-membaca-alquran-adalah-kenikmatan-terbaik-yang-ada-di-dunia-ini.html